Rabu, 13 Juni 2012

ijarah


Ijarah (Sewa – Menyewa dan Upah)

            Oleh : Amirul Ikhsan

Pengertian
Idris ahmad dlm bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah- mengupah, yaitu mu’jir dan musta’zir (yang memberikan upah dan menerima upah).
Al – Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang arti menurut bahasa ialah al iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah.
Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemulkakan beberapa devinisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:
1.      Menurut Hanafiyah bahwa Ijarah ialah:
“akad untuk membolehkan pemilikkan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewakan dengan imbalan.”
2.      Menurut malikiyah bahwa Ijarah ialah:
”nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3.      Menurut syaikh syibah Al din dan syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan Ijarah ialah:
“akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui saat itu.”
4.      Menurut Muhammad Al syarbini al khatib bahwa yang demaksud dengan Ijarah ialah:
“pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat – syarat”
5.      Menurut Sayyid sabiq bahwa Ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
6.      Menurut Hasbi Ash-shiddiqie bahwa Ijarah ialah:
“akad yang objeknya ialah penukaran manfaat ubtuk masa tertentu, yaitu pemilikkan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
7.      Menurut idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.

Berdasarkan definisi diatas, kiranya dapat dipahami bahwa Ijarah ialah menukar sesuatu dengan adanya imbalan, deterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti sewa-menyewa dan upah mengupah,
Sewa menyewa adalah:
………..
“Menjual manfaat”

Dan Upah mengupah adalah:
…………
“Menjual tenaga atau kekuatan”


Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar hukum dan rujukkn ijarah adalah Al-qur’an, Al-sunnah dan Ijma’.
Ø  Dasar hukum Al qur’an
÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é&
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya (ath Thalaaq:6)

ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ËÏÈ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya (Al – Qashash: 26)

Dasar hukum ijarah dari Al-Hadits adalah:
…………………………..
“berikanlah oleh mu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering.”
(riwayat Ibnu Majah)


………………………
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah oleh mu upahnya kepada tukang bakam itu,” (Riwayat Bukhori dan Muslim).

………………………………..
“Dulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang atau perak” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).
Rukun Dan Syarat Ijarah
Rukun – rukun dan Syarat Ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah.
Ø Syarat: baligh, berakal, cakap melakukan Tasyaruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
2.      Sighat ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir
3.      Ujroh, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.
4.      Barang yang disewakan.
Ø Syarat: hendaklah benda yang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah mengupah, dimanfaatkan kegunaannya.
Ø Hendaklah benda yang menjadi objek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya.
Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al – Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap cara pandang terhadap pekerjaan – pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji atau membaca Al – Qur’an yang pahlanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mangambil upah dari pekerjaan tersebut, karena Rasulullah bersabda:
“bacalah oleh mu Al – Qur’an dan janganlah kamu mencari makan dari jalan itu”
Pembayaran Upah dan Sewa
Jika Ijarah itu suatu pekerjaan, maka kewajiban membayar upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlagsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Haniffah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika Mu’jiri menyerahkan zat benda yang disewakan kepada Musta’jir, jika berhak menerima bayarannya karena penyewa (Musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak menerima Upah bagi musta’jir adalah sebaga berikut.
·         Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralaskan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW. Bersabda:
………………………………..
“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”
·         Jika menyewa barang, uang sewa diserahkan ketika akad sewa, kecuali bila dalam dalam akad ditemukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan kepada akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul Musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini dibebaskan, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (Mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan kelalaian Musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewakan akibat kelalaian Musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah Musta’jir itu sendiri.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berkut.
  1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
  2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
  3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
  4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
  5. Manurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia diperbolehkan memfasakhkan sewaan itu.
  6. Pembatalan Akad.
Habis waktu, kecuali ada uzur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar