Ijarah (Sewa – Menyewa dan
Upah)
Oleh
: Amirul Ikhsan
Pengertian
Idris ahmad dlm
bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I,
berpendapat bahwa ijarah berarti upah
mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-
mengupah, yaitu mu’jir dan musta’zir (yang memberikan upah dan
menerima upah).
Al – Ijarah berasal dari kata Al Ajru
yang arti menurut bahasa ialah al iwadh
yang arti dalam bahasa indonesianya ialah ganti dan upah.
Menurut
etimologi, Ijarah adalah (menjual
manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih
jelasnya, dibawah ini akan dikemulkakan beberapa devinisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:
1. Menurut Hanafiyah bahwa Ijarah ialah:
“akad untuk membolehkan pemilikkan
manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewakan dengan
imbalan.”
2. Menurut malikiyah bahwa Ijarah ialah:
”nama bagi akad – akad untuk
kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
3. Menurut syaikh syibah Al din dan syaikh Umairah
bahwa yang dimaksud dengan Ijarah ialah:
“akad atas manfaat yang diketahui
dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui saat
itu.”
4. Menurut Muhammad Al syarbini al khatib bahwa
yang demaksud dengan Ijarah ialah:
“pemilikan manfaat dengan adanya
imbalan dan syarat – syarat”
5. Menurut Sayyid sabiq bahwa Ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian.
6. Menurut Hasbi Ash-shiddiqie bahwa Ijarah ialah:
“akad yang objeknya ialah penukaran
manfaat ubtuk masa tertentu, yaitu pemilikkan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat.”
7. Menurut idris Ahmad bahwa upah artinya
mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut
syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan
definisi diatas, kiranya dapat dipahami bahwa Ijarah ialah menukar sesuatu dengan adanya imbalan, deterjemahkan
dalam bahasa indonesia berarti sewa-menyewa dan upah mengupah,
Sewa menyewa
adalah:
………..
“Menjual manfaat”
Dan Upah mengupah adalah:
…………
“Menjual tenaga atau kekuatan”
Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar hukum dan rujukkn
ijarah adalah Al-qur’an, Al-sunnah dan Ijma’.
Ø Dasar hukum Al qur’an
÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é&
Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya (ath Thalaaq:6)
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ËÏÈ
Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya (Al – Qashash: 26)
Dasar hukum ijarah dari Al-Hadits
adalah:
…………………………..
“berikanlah oleh mu
upah orang sewaan sebelum keringatnya kering.”
(riwayat Ibnu Majah)
………………………
“Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah oleh mu upahnya kepada tukang bakam itu,” (Riwayat Bukhori
dan Muslim).
………………………………..
“Dulu kami menyewa
tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang
kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang atau perak”
(Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).
Rukun Dan Syarat Ijarah
Rukun – rukun dan Syarat Ijarah
adalah sebagai berikut:
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang
melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah.
Ø Syarat: baligh, berakal, cakap melakukan
Tasyaruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
2. Sighat ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir
3. Ujroh, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh
kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.
4. Barang yang disewakan.
Ø Syarat: hendaklah benda yang menjadi objek akad
sewa menyewa dan upah mengupah, dimanfaatkan kegunaannya.
Ø Hendaklah benda yang menjadi objek sewa menyewa
dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunaanya.
Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam
perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al – Qur’an
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang
terhadap cara pandang terhadap pekerjaan – pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk
shalat, puasa, haji atau membaca Al – Qur’an yang pahlanya dihadiahkan kepada
orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari yang menyewa, azan, qamat
dan menjadi imam, haram hukumnya mangambil upah dari pekerjaan tersebut, karena
Rasulullah bersabda:
“bacalah oleh mu
Al – Qur’an dan janganlah kamu mencari makan dari jalan itu”
Pembayaran Upah dan Sewa
Jika Ijarah itu suatu pekerjaan, maka
kewajiban membayar upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada
pekerjaan lain, jika akad sudah berlagsung dan tidak disyaratkan mengenai
pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Haniffah wajib
diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Syafi’I dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri.
Jika Mu’jiri menyerahkan zat benda
yang disewakan kepada Musta’jir, jika
berhak menerima bayarannya karena penyewa (Musta’jir)
sudah menerima kegunaan.
Hak menerima Upah bagi
musta’jir adalah sebaga berikut.
·
Ketika
pekerjaan selesai dikerjakan, beralaskan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu
Majah, Rasulullah SAW. Bersabda:
………………………………..
“Berikanlah
upah sebelum keringat pekerja itu kering”
·
Jika
menyewa barang, uang sewa diserahkan ketika akad sewa, kecuali bila dalam dalam
akad ditemukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan
berlangsung.
Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan kepada
akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu
disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul
Musta’jir kedua, maka kerbau itu pun
harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan
yang kedua ini dibebaskan, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau
seimbang.
Bila ada
kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik
barang (Mu’jir) dengan syarat
kecelakaan itu bukan kelalaian Musta’jir.
Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewakan akibat kelalaian Musta’jir maka yang bertanggung jawab
adalah Musta’jir itu sendiri.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi
batal (fasakh) bila ada hal-hal
sebagai berkut.
- Terjadinya cacat pada barang sewaan yang
terjadi pada tangan penyewa.
- Rusaknya barang yang disewakan, seperti
rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
- Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan.
- Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, masa
yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
- Manurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak,
seperti menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri,
maka ia diperbolehkan memfasakhkan sewaan itu.
- Pembatalan Akad.
Habis waktu, kecuali ada uzur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar