Rabu, 27 Juni 2012

TUJUAN DAN ASUMSI EKONOMI ISLAM


TUJUAN DAN ASUMSI EKONOMI ISLAM

Oleh : Amirul Ikhsan

A.    Tujuan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah suatu ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syari'ah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. (Hasanuzzaman, 1984: 8) Dan ekonomi Islam dapat juga didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis. (Chapra, 1996: 33)
Tujuan ekonomi Islam itu sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari'ah), yaitu mewujudkan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyatan toyyiban). Dalam definisi kesejahteraan dalam Islam yang tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik tentang definisi "kesejahteraan" itu sendiri.
Pandangan ekonomi Islam tentang kesejahteraan tentu saja didasarkan atas keseluruhan ajaran Islam tentang kehdiupan ini. Konsep kesejahteraan ini sangatlah berbeda dengan konsep dalam ekonomi konvensional, sebab ia merupakan konsep yang holistic. Secara singkat kesejahteraan yang diinginkan oleh ajaran Islam adalah:
  1. Kesejahteraan holistic dan seimbang, yaitu mencakup dimensi material maupun spiritual serta mencakup individu maupun soisal. Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan haruslah seimbang di antara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individual, tetapi tentu saja ia tidak dapat terlepas dari lingkungan social. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan di antara dirinya sendiri dengan lingkungan sosialnya.
  2. Kesejahteraan di dunia maupun di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja tetapi juga di alam akhirat (the hereafter). Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai makan kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang dalam segala hal lebih bernilai (valuable).
Istilah umum yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan hidup sejahtera secara material-spiritual pada kehidupan di dunia maupun akhirat dalam bingkai ajaran Islam adalah falah. Dalam pengertian sederhana falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistic.
Sebenarnya, tidaklah mudah untuk mencari padanan kata falah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, sebab ia berasal dari akar kata bahasa Arab flh. Dalam bentuk verbalnya falah, yuflihu berarti berkembang pesat, menjadi bahagia, memperoleh keberuntungan atau kesuksesan atau menjadi sukses. Di dalam al-Qur'an kata falah terdapat pada 40 tenpat. Falah menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Untuk kehidupan dunia, falah mencqaup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup (survival/baqa'), kebebasan darikemiskinan (freedom from want/ghana) serta kekuatan dan kehormatan (power and honour/'izz). Semenatra itu untuk kehdiupan akhirat, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi (eternal survival/baqa' bila fana'), kesejahteraan abadi (eternal prosperity/ghana bila faqr), kemuliaan abadi (everlasting glory/'izz bila dhull) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge free of all ignorance/'ilm bila jahl).
Menurut al-Qur'an, tuuan kehidupan manusia pada akhirnya adalah falah di akhirat, sedangkan falah di dunia hanya merupakan tujuan antara (yaitu sarana untuk mencapai falah akhirat). Dengan kata lain, falah di dunia merupakan intermediate goal (tujuan antara), sedangkan akhirat merupakan ultimate goal (tujuan akhir). Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi, dan memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Hal ini tidak berarti bahwa kehidupan di dunia tidak penting atau boleh diabaikan. Bahkan, kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapai tujuan akhirat. Jika ajaran Islam diterapkan secaa menyeluruh dan sungguh-sungguh, maka niscaya akan tercapai falah di dunia dan di akhirat sekaligus. Sehingga tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan di akhirat, sedangkan ekonomi sekuler untuk kepuasan di dunia saja. Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dimana segala bahan-bahan yang ada dibumi dan dilangit adalah diperuntukkan untuk manusia. Semua bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam kaitannya ibadah, kita mengenal ada ibadah yang khusus ada pula ibadah yang umum. Dalam firman Allah SWT, QS. An-Nahl ayat 12-13:
Artinya:
“Dan dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang tiu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-Nya.” (QS. An-Nahl: 12)
“Dan dia (menundukkan pula) apa yang dia ciptakanuntuk kamu di bumi ini dengan berlainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl:13)

Menurut Muhammad Umar Chapra, salah seorang ekonom muslim, tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam.
  1. Kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas, norma-norma moral islami. Agama Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati rizki dsari Allah namun tidak bleh berlebihan dalam pola konsumsi. Di samping itu Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk bekerja keras mencari rizki setelah melakukan shalat Jum'at. (QS. 62:10). Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia seperti bertani, berdagang dan usaha-usaha lainnya dianggap sebagai ibadah, hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik harus menjadi salah satu tujuan masyarakat muslim.
  2. Tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan rasa permusuhan, peperangan dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih banyak dijumpai pada saat ini. "Dengan adanya rasa persaudaraan sesame umat manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama. (QS. 5:2)
  3. Distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan, oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan diruntuhkan rasa persaudaraan antarsesama manusia yang ingin dibina oleh Islam.
  4. Tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk melepaskan manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS. 7: 157).
Dalam pandangan Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau sarana pendukung) bagi nilai-nilai dasar seperti aqidah islamiyah, ibadah dan akhlaqul karimah. Maka apabila ada pertentangan antara tujuan ekonomi bagi individu atau masyarakat dengan nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau peduli dengan tujuan-tujuan tersebut dan sanggup mengorbankan tujuan-tujuan itu dengan kerelaan hati. Hal itu dalam rangka memelihara prinsip-prinsip tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Dalam berbagai literatur ilmu ekonomi konvensional dengan mudah dapat dijumpai bahwa tujuan dari manusia dalam memenuhi kebutuhannya atas barang dan jasa adalah untuk mencapai kesejahteraan (well being). Manusia menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidupnya dan untuk inilah ia berjuang dengan segala cara untuk mencapainya. Apakah yang disebut sejahtera? Bagaimana keadaan yang dapat disebut sebagai bahagia dan sejahtera, apa syarat-syaratnya, apa kriterianya dan akhirnya bagaimana cara mencapainya?
Konsep kesejahteraan yang dijadikan tujuan dalam ekonomi konvensional ternyata sebuah terminology yang kontroversial, karena dapat didefinisikan dengan bayak pengertian. Salah satunya diartikan dalam perspektif materialisme dan hedonisme murni, sehingga keadaan sejahtera terjadi manakala manusia memiliki keberlimpahan (tidak sekedar kecukupan) material. Perpesktif seperti inilah yang digunakan secara luas dalam ilmu ekonomi konvensional saat ini. Pengertian kesejahteraan seperti ini menafikan keterkaitan kebutuhan manusia dengan unsur-unsur spiritual/norma, atau mungkin hanya dengan sedikit kaitan. Dengan pengertian seperti ini maka tidaklah mengherankan kalau konfigurasi barang dan jasa yang harus disediakan adalah yang memberikan porsi keunggulan pada pemenuhan kepentingan pribadi, maksimasi kekayaan kenikmatan fisik dan kepuasan hawa nafsu.
Jadi, kesimpulan dari tujuan ekonomi Islam maupun ekonomi konvensional ujung permasalahannya adalah sama-sama mencari "kesejahteraan". Memandang daripada konsep kesejahteraan dari sisi pandangan ekonomi Islam dengan pandangan ekonomi konvensional seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangatlah berbeda. Secara singkat kesejahteraan dalam prospek ajaran Islam adalah kesejahetraan holistik dan seimbang serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat kemudian kesejahteraan dalam prospek ekonomi konvensional adalah kesejahteraan yang memberikan porsi keunggulan pada pemenuhan kepentingan keduniawian saja.

B.     Asumsi-Asumsi Ekonomi Islam
Dalam Islam, kegiatan ekonomi merupakan satu bagian dari mu'amalah, dengan kegiatan politik dan sosial sebagai bagian lainnya. Kegiatan ekonomi itu sendiri dapat diturunkan lagi menjadi pola konsumsi, simpanan dan investasi.
Islam adalah agama yang sarat etika. Dengan etika konsumsi dalam Islam, perlu ditegaskan dengan prinsip-prinsip etika dalam Islam. Menegnai etika Islam banyak dikemukakan oleh para ilmuwan, sedang pengembangan yang sistematis dengan latar belakang ekonomi tentang sistem etika Islam secara garis besar dapat dibagi menjadi empat kelompok aksioma, sebagaimana dikupas Naqvi (1985). Naqvi mengelompokkan ke dalam empat aksioma pokok, yaitu tauhid, keadilan, kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban.
1.      Tauhid (unity/kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah "tauhid". Menurut Qardhawi membagi tauhid menjadi dua kriteria, yaitu Rabbaniyyah ghayyah (tujuan) dan wijhah (sudut pandang). Kriteria yang pertama menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah jauh ke depan, yaitu menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya, sehingga pengabdian kepada Tuhan merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha, dan kerja keras manusia dalam kehidupan (fana) ini. Ini berarti bahwa Islam (baik sebagai syari'at, bimbingan) semata-mata dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia supaya menjadi seorang yang muhsin, sehingga ruh dan globalitas Islam adalah tauhid.
Kriteria yang kedua Rabbaniyyah Mashdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kreteria ini mempunyai kaitan dengan kriteria pertama. Artinya, kriteria ini merupakan suatu sistem yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber pada al-Qur'an dan hadits rasul. Aksioma tauhid (kesatuan) merupakan bentuk dimensi vertikal yang memadukan segi politik, ekonomi sosial dan religius dalam kehidupan manusia menjadi satu integratif, tauhid merupakan kenyataan yang memberikan umat manusia perspektif pastiyang berasal dari pengertian mendalam mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, sehingga manusia akan berhasil (dalam mencari kebenaran)bila diberi petunjuk dari Yang Maha Benar.
2.      'Adl (equillibrium/keadilan)
'Adl merupakan salah satu pokok etika Islam. Kata al-'adl berarti sama (rata) sepadan, ukuran (takaran), keseimbangan. Sehubunagn dengan masalah adil atau keadilan, Muthahhari mendefinisikan keadilan menjadi empat pengertian, yaitu: 1) keadaan sesuatu yang seimbang; 2) persamaan dan penafikan segala bentuk diskriminasi; 3) pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada setiap orang yang berhak menerima; dan 4) memelihara hak bagi kelanjutan eksistensi (keadilan Tuhan). Keadilan adalah hak-hak nyata yang mempunyai realitas, artinya bahwa keadilan tidak dapat disamakan dengan keseimbangan. Karena keadilan berawal dari usaha memberikan hak kepada setiap individu (yang berhak menerima) sekaligus menjaga atau memelihara hak tersebut, sehingga pernyataan yang mengatakan bahwa keadilan bersifat relatif adalah salah. Sementara itu, Khursid Ahmad mengatakan, kata 'adl dapat diartikan seimbang (balance) dan setimbang (equilibrium). Atas dasar ini, ia menyebutkan bahwa konsep 'adl dalam persepsi Islam adalah "keadilan ilahi".
Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur'an adalah kesejahteraan. Sebagaimana diekmukakan oleh Shihab setelah ia menafsirkan QS. al-Ma'idah: 8, al-A'raf: 96, dan Nuh: 10-12. Berdasarkan rangkaian ayat ini, tampak bahwa keadilan akan mengantarkan kepada katakwaan, dan ketakwaan akan menghasilkan kesejahteraan. Hal ini cukup menarik, bahwa ayat tersebut menunjukkan hubungan langsung antara wawasan al-Qur'an dan upaya peningkatan kesejahteraan serta peningkatan taraf hidup warga masyarakat ekonomi lemah yang merupakan pengejawantahan keadilan.
3.      Free Will (kehendak bebas)
Dalam kerangka, kehendak bebas atau otonomi manusia untuk bertingkah laku, bukan berarti bahwa "Tuhan telah mati", sebagaimana yang dikemukakan oleh Neitzsche dan Sartrein. Kehenbdak bebas yang dimaksud adalah prinsip yang mengantarkan seorang muslim meyakini bahwa Allah SWT memiliki kebebasan mutlak dna Dia menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih jalan (baik maupun buruk) yang terbentang di hadapannya. Dengan demikian, manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan al'adl.
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas, namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha' dan qadar yang merupakan hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan. Dengan kata lain, bahwa qadha' dan qadar merupakan bagian dari kehendak bebas manusia. Dalam kaitan ini, Muthahhari membagi takdir menjadi dua macam, yaitu takdir hatmi, yaitu takdir yang tidak dapat berubah lagi dan taqdir ghayr hatmi, yaitu takdir yang masih bisa berubah.
Pandangan al-Qur'an terhadap akal dan nurani manusia adalah bebas dan merdeka, dimana fitrah Ilahi tetap dapat hidup dalam segala keadaan dan lingkungan, sehingga Allah memberikan ganjaran dan siksaan kepada manusia. Shihab menjelaskan, sunnatullah (digunakan al-Qur'an) untuk hukum-hukum Tuhan yahng pasti berlaku bagi masyarakat, sedangkan takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum alam, sebagaimana takdirnya matahari, bulan dan seluruh jagat raya telah ditetapkan takdirnya dna tidak bisa mereka menawar.
4.      Amanah (responsibility/pertanggungjawaban)
Efek dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggungjawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana suatu tindakan (perbuatan) merupakan produk pilihan sadar dalam situasi bebas (tidak terpaksa), pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya kepada pihak yang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas.
Prinsip tanggungjawab dalam Islam dikenalkan dengan tanggungjawab secara individu maupun kolektif, yaitu konsep fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Konsep yang pertama adalah kewajiban individu yang tidak dibebankan kepada orang lain. Sedangkan konsep yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain, sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaslah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa) akan tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.

Rabu, 13 Juni 2012

TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM


TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

Oleh : Amirul Ikhsan

Latar belakang
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi, distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu antara mereka. Jawaban atas pertanyaan itu jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan yang lainnya, lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah
Etika Konsumsi dalam Islam
Konsumsi berlebih – lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur – hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti menggunakan barang dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan – tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal – hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih – lebihan untuk hal – hal yang melanggar hukumdalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, atau bahkan sedekah. Ajaran – ajaran Islam menganjurkan pada konsumsidan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap lisraf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai – nilai dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan – tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzil. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan – pembatasan dan, bila dianggap perlu,dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syari’ah dia seharusnya diperlukan sebagai orang yang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanyaselaku wakilnya.
Model Keseimbangan Konsumsi Islam
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islamdidasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Jika tuan A mengalokasikan pendapatannya setahun hanya untuk kebutuhan materi, dia tidak berlaku adil karena ada pos yang nbelum dibelanjakan, yaitu konsumsi sosial. Jika demikian, sesungguhnya dia hanya bertindak untuk jalannya diakhirat nanti.
Secara sederhana Metwally (1995: 26-23) telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam perumusan keseimbangan konsumsi Islami.
Dimana :
S : Sedekah
H :  Harga barang dan jasa
BR : Barang
JS : Jasa
Z : Zakat (25%)
P : Jumlah pendapatan
Batasan Konsumsi Dalam Syari’ah
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia, yang dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap – sikap terhadap sesama manusia, sumberdaya, dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat kuantitas, dan kulitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan materil maupun spiritual. Dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang bentuk – bentuk halal dan haram, pelarangan terhadap israf, pelarangan terhadap bermewah – mewahan dan bermegah – megahan, konsumsi sosial, dan aspek – aspek normatif lainnya. Kita melihat batasan konsumsi dalam Islam sebagaimana diurai dalam Alqur’an surah Al-Baqarah [2]: 168 -169 :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah – langkah setan; karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Sesungguhnya setan hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Sedangkan untuk batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam al qur’an surah Al-Maidah[5] : 90 :

Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya (minuman khamer, berjudi,(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan – perbuatan itu agar kamu beruntung.
Ketentuan Islam Dalam Konsumsi
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Kebutuhan konsumen yang kini dan yang telah diperhitungkan sebelumnya merupakan insentif pokok bagi kegiatan – kegiatan ekoniminya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya. Hal ini berarti pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menjelaskan prinsip produksi dan konsumsi. Perbedaan antara ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatan dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata – mata dan pola konsumsi modern. Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang luar biasa sekarang ini.
PERILAKU KONSUMEN MUSLIM
Dalam bidang konsumsi, Islam tidak menganjurkan pemenuhan keinginan yang tak terbatas. Secara hirarkisnya, kebutuhan manusia dapat meliputi ; keperluan, kesenangan dan kemewahan. Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, Islam menyarankan agar manusia dapat bertindak ditengah – tengah (moderity) dan sederhana (simpelicity). Pembelanjaan yang dianjurkan dalam Islam adalah yang digunakan untuk memenuhi “kebutuhan” dan melakukan dengan cara rasional. isharf dilarang dalam al – Qur’an. Tabzir berarti membelanjakan uang ntuk sesuatu yang dilarang menurut hukum Islam. Perilaku ini sangat dilarang oleh Allah swt.
Dasar Hukum prilaku konsumen
Hasan sirry menyatakan bahwa sumber hukum konsumsi yang tercactum dalam Al-Qur’an adalah,
Artinya:
Makanlah dan minumlah,namun janganlah berlebih – lebihan, Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang – orang berlebih – lebihan.

Sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah,
Artinya:
Abu Said Al – Chodry r.a. berkata: ketika kami dalam bepergian bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang berkendara, sambil menoleh kekanan kekiri seolah – olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi: “siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantu kepada yang tidak berbekal.” Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya..
Keadilan Dalam Konsumsi
Prinsip keadilan menentukan cara penggunaan harta sebagaimana diterangkan dalam ayat Al – Qur’an berikut:
Ÿwur ¨ûtù|¡øts tûïÏ%©!$# tbqè=yö7tƒ !$yJÎ/ ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù uqèd #ZŽöyz Nçl°; ( ö@t/ uqèd @ŽŸ° öNçl°; ( tbqè%§qsÜãy $tB (#qè=σr2 ¾ÏmÎ/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 ¬!ur ß^ºuŽÏB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ª!$#ur $oÿÏ3 tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz

TALAK


TALAK
By : Amirul Ikhsan
A.    Pengertian Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah Syara’, Talak yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
Menurut Al- Jaziry, Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata- kata tertentu.
Sedangkan menurut Al- Zakaria Al- Anshari, Talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
Menurut Imam Nawami dalam bukunya Tahdzib, talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah.
Jadi, Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua , dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.

B.     Macam- macam Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
1.         Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Syaratnya adalah :
a.    Istri yang ditalak sudah pernah digauli.
b.    Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu keadaan suci dari haidh.
c.    Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci kendati beberapa saat lalu datang haidh.
d.   Suami tidak pernah menggaulu istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan.
2.         Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat- syarat talak sunni. Termasuk talak bid’I ialah:
a.    Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik dipermulaan haid maupun di pertengahannya.
b.    Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
3.         Talak la sunni wala bid’I, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i. yaitu :
a.    Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
b.    Talak yang dijatukan terhadap istri yang belum pernah hai, atau istri yang telah lepas haid
c.    Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata- kata yang dipergunakan sebagi ucapan talak, talak di bagi menjadi dua macam :
1.         Talak sharih, yaitu talak dengan  mempergunakan kata- kata yang tegas dan jelas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika di ucapkan, tidak mungkin dipahami lagi. Talak sharih menggunakan 3 lafal yaitu cerai (talak), pisah (firaq), dan terlepas (sarah). Beberapa contoh  talak sharih ialah seperti suami berkata kepada istrinya:
a.    Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga.
b.    Engkau saya ffiraq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga.
c.    Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhdap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapanya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
2.         Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata- kata sindiran, atau samar- samar, seperti suami berkata kepada istrinya:
a.    Engkau sekarang telah jauh dariku.
b.    Selesaikan sendiri segala urusanmu.
c.    Janganlah engkau mendekati aku lagi.
d.   Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga.
e.    Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga.
f.     Susullah keluargamu sekarang juga.
g.    Pulanglah ke rumah orang tuamu sekarang.
Ucapan- ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain. menurut Taqiyuddin Al- Husaini kedudukan talak kinayah ini bergantung kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata – kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan lika suami tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh.
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua:
1.         Tala Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dr. As- Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan kesaksian. Talak raj’I hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 229:
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿ