TUJUAN DAN ASUMSI EKONOMI ISLAM
Oleh : Amirul Ikhsan
A. Tujuan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam
adalah suatu ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syari'ah yang mencegah
ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar
memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah
dan masyarakat. (Hasanuzzaman, 1984: 8) Dan ekonomi Islam dapat juga
didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka yang sejalan
dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan
ketidakseimbangan makro dan ekologis. (Chapra, 1996: 33)
Tujuan ekonomi
Islam itu sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy
syari'ah), yaitu mewujudkan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat, serta kehidupan yang baik dan terhormat (hayyatan toyyiban).
Dalam definisi kesejahteraan dalam Islam yang tentu saja sangat berbeda dengan
pandangan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik tentang
definisi "kesejahteraan" itu sendiri.
Pandangan ekonomi
Islam tentang kesejahteraan tentu saja didasarkan atas keseluruhan ajaran Islam
tentang kehdiupan ini. Konsep kesejahteraan ini sangatlah berbeda dengan konsep
dalam ekonomi konvensional, sebab ia merupakan konsep yang holistic. Secara
singkat kesejahteraan yang diinginkan oleh ajaran Islam adalah:
- Kesejahteraan holistic dan seimbang, yaitu mencakup dimensi material maupun spiritual serta mencakup individu maupun soisal. Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan haruslah seimbang di antara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individual, tetapi tentu saja ia tidak dapat terlepas dari lingkungan social. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan di antara dirinya sendiri dengan lingkungan sosialnya.
- Kesejahteraan di dunia maupun di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja tetapi juga di alam akhirat (the hereafter). Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai makan kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang dalam segala hal lebih bernilai (valuable).
Istilah umum yang
banyak digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan hidup sejahtera secara
material-spiritual pada kehidupan di dunia maupun akhirat dalam bingkai ajaran
Islam adalah falah. Dalam pengertian sederhana falah adalah
kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Definisi kesejahteraan
dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan
pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan
materialistic.
Sebenarnya,
tidaklah mudah untuk mencari padanan kata falah dalam bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris, sebab ia berasal dari akar kata bahasa Arab flh.
Dalam bentuk verbalnya falah, yuflihu berarti berkembang pesat,
menjadi bahagia, memperoleh keberuntungan atau kesuksesan atau menjadi sukses.
Di dalam al-Qur'an kata falah terdapat pada 40 tenpat. Falah
menyangkut konsep yang bersifat dunia dan akhirat. Untuk kehidupan dunia, falah
mencqaup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup (survival/baqa'),
kebebasan darikemiskinan (freedom from want/ghana) serta kekuatan dan
kehormatan (power and honour/'izz). Semenatra itu untuk kehdiupan akhirat,
falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi (eternal
survival/baqa' bila fana'), kesejahteraan abadi (eternal
prosperity/ghana bila faqr), kemuliaan abadi (everlasting glory/'izz
bila dhull) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge
free of all ignorance/'ilm bila jahl).
Menurut al-Qur'an, tuuan kehidupan manusia pada
akhirnya adalah falah di akhirat, sedangkan falah di dunia hanya
merupakan tujuan antara (yaitu sarana untuk mencapai falah akhirat).
Dengan kata lain, falah di dunia merupakan intermediate goal
(tujuan antara), sedangkan akhirat merupakan ultimate goal (tujuan
akhir). Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan
terjadi, dan memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan
dunia. Hal ini tidak berarti bahwa kehidupan di dunia tidak penting atau boleh
diabaikan. Bahkan, kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapai tujuan
akhirat. Jika ajaran Islam diterapkan secaa menyeluruh dan sungguh-sungguh,
maka niscaya akan tercapai falah di dunia dan di akhirat sekaligus. Sehingga tujuan ekonomi Islam
membawa kepada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan di akhirat, sedangkan ekonomi
sekuler untuk kepuasan di dunia saja. Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini dimana segala bahan-bahan yang ada dibumi dan
dilangit adalah diperuntukkan untuk manusia. Semua bertujuan untuk beribadah
kepada Allah SWT. Dalam kaitannya ibadah, kita mengenal ada ibadah yang khusus
ada pula ibadah yang umum. Dalam firman Allah SWT, QS. An-Nahl ayat 12-13:
Artinya:
“Dan dia menundukkan malam
dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang tiu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami-Nya.” (QS. An-Nahl:
12)
“Dan dia (menundukkan pula)
apa yang dia ciptakanuntuk kamu di bumi ini dengan berlainan macamnya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl:13)
Menurut Muhammad
Umar Chapra, salah seorang ekonom muslim, tujuan kegiatan ekonomi tersebut
dapat dirumuskan menjadi 4 macam.
- Kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas, norma-norma moral islami. Agama Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati rizki dsari Allah namun tidak bleh berlebihan dalam pola konsumsi. Di samping itu Allah SWT mendorong hamba-Nya untuk bekerja keras mencari rizki setelah melakukan shalat Jum'at. (QS. 62:10). Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia seperti bertani, berdagang dan usaha-usaha lainnya dianggap sebagai ibadah, hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik harus menjadi salah satu tujuan masyarakat muslim.
- Tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia jangan sampai menimbulkan rasa permusuhan, peperangan dan ketidakadilan ekonomi sebagaimana yang masih banyak dijumpai pada saat ini. "Dengan adanya rasa persaudaraan sesame umat manusia, tidak akan timbul perebutan sumber-sumber ekonomi dan yang adalah bertolong-tolongan untuk kesejahteraan bersama. (QS. 5:2)
- Distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan, oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi tidak dibenarkan dalam Islam. Ketidakmerataan ekonomi tersebut hanya akan diruntuhkan rasa persaudaraan antarsesama manusia yang ingin dibina oleh Islam.
- Tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan sosial. Salah satu misi yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW adalah untuk melepaskan manusia dari beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS. 7: 157).
Dalam pandangan
Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau sarana pendukung) bagi nilai-nilai
dasar seperti aqidah islamiyah, ibadah dan akhlaqul karimah. Maka apabila ada
pertentangan antara tujuan ekonomi bagi individu atau masyarakat dengan
nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau peduli dengan tujuan-tujuan tersebut
dan sanggup mengorbankan tujuan-tujuan itu dengan kerelaan hati. Hal itu dalam
rangka memelihara prinsip-prinsip tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Dalam berbagai literatur
ilmu ekonomi konvensional dengan mudah dapat dijumpai bahwa tujuan dari manusia
dalam memenuhi kebutuhannya atas barang dan jasa adalah untuk mencapai
kesejahteraan (well being). Manusia menginginkan kebahagiaan dan
kesejahteraan dalam hidupnya dan untuk inilah ia berjuang dengan segala cara
untuk mencapainya. Apakah yang disebut sejahtera? Bagaimana keadaan yang dapat
disebut sebagai bahagia dan sejahtera, apa syarat-syaratnya, apa kriterianya
dan akhirnya bagaimana cara mencapainya?
Konsep kesejahteraan
yang dijadikan tujuan dalam ekonomi konvensional ternyata sebuah terminology
yang kontroversial, karena dapat didefinisikan dengan bayak pengertian. Salah
satunya diartikan dalam perspektif materialisme dan hedonisme murni, sehingga
keadaan sejahtera terjadi manakala manusia memiliki keberlimpahan (tidak
sekedar kecukupan) material. Perpesktif seperti inilah yang digunakan secara
luas dalam ilmu ekonomi konvensional saat ini. Pengertian kesejahteraan seperti
ini menafikan keterkaitan kebutuhan manusia dengan unsur-unsur spiritual/norma,
atau mungkin hanya dengan sedikit kaitan. Dengan pengertian seperti ini maka
tidaklah mengherankan kalau konfigurasi barang dan jasa yang harus disediakan
adalah yang memberikan porsi keunggulan pada pemenuhan kepentingan pribadi,
maksimasi kekayaan kenikmatan fisik dan kepuasan hawa nafsu.
Jadi, kesimpulan dari tujuan ekonomi Islam maupun ekonomi
konvensional ujung permasalahannya adalah sama-sama mencari
"kesejahteraan". Memandang daripada konsep kesejahteraan dari sisi
pandangan ekonomi Islam dengan pandangan ekonomi konvensional seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangatlah berbeda. Secara singkat
kesejahteraan dalam prospek ajaran Islam adalah kesejahetraan holistik dan
seimbang serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat kemudian kesejahteraan
dalam prospek ekonomi konvensional adalah kesejahteraan yang memberikan porsi
keunggulan pada pemenuhan kepentingan keduniawian saja.
B. Asumsi-Asumsi Ekonomi Islam
Dalam Islam,
kegiatan ekonomi merupakan satu bagian dari mu'amalah, dengan kegiatan politik
dan sosial sebagai bagian lainnya. Kegiatan
ekonomi itu sendiri dapat diturunkan lagi menjadi pola konsumsi, simpanan dan
investasi.
Islam adalah agama yang sarat etika. Dengan etika
konsumsi dalam Islam, perlu ditegaskan dengan prinsip-prinsip etika dalam Islam.
Menegnai etika Islam banyak dikemukakan oleh para ilmuwan, sedang pengembangan
yang sistematis dengan latar belakang ekonomi tentang sistem etika Islam secara
garis besar dapat dibagi menjadi empat kelompok aksioma, sebagaimana dikupas
Naqvi (1985). Naqvi mengelompokkan ke dalam empat aksioma pokok, yaitu tauhid,
keadilan, kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban.
1.
Tauhid (unity/kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah "tauhid".
Menurut Qardhawi membagi tauhid menjadi dua kriteria, yaitu Rabbaniyyah
ghayyah (tujuan) dan wijhah (sudut pandang). Kriteria yang pertama
menunjukkan maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah jauh ke depan,
yaitu menjaga hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya,
sehingga pengabdian kepada Tuhan merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak
cita-cita, usaha, dan kerja keras manusia dalam kehidupan (fana) ini.
Ini berarti bahwa Islam (baik sebagai syari'at, bimbingan) semata-mata
dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia supaya menjadi seorang yang muhsin,
sehingga ruh dan globalitas Islam adalah tauhid.
Kriteria yang kedua Rabbaniyyah Mashdar (sumber hukum) dan manhaj
(sistem). Kreteria ini mempunyai kaitan dengan kriteria pertama. Artinya, kriteria
ini merupakan suatu sistem yang telah ditetapkan untuk mencapai sasaran dan
tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber pada al-Qur'an dan hadits
rasul. Aksioma tauhid (kesatuan) merupakan bentuk dimensi vertikal yang
memadukan segi politik, ekonomi sosial dan religius dalam kehidupan manusia
menjadi satu integratif, tauhid merupakan kenyataan yang memberikan umat
manusia perspektif pastiyang berasal dari pengertian mendalam mengenai hubungan
antara manusia dengan Tuhan, sehingga manusia akan berhasil (dalam mencari
kebenaran)bila diberi petunjuk dari Yang Maha Benar.
2.
'Adl (equillibrium/keadilan)
'Adl merupakan salah
satu pokok etika Islam. Kata al-'adl
berarti sama (rata) sepadan, ukuran (takaran), keseimbangan. Sehubunagn dengan
masalah adil atau keadilan, Muthahhari mendefinisikan keadilan menjadi empat
pengertian, yaitu: 1) keadaan sesuatu yang seimbang; 2) persamaan dan penafikan
segala bentuk diskriminasi; 3) pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak
kepada setiap orang yang berhak menerima; dan 4) memelihara hak bagi kelanjutan
eksistensi (keadilan Tuhan). Keadilan adalah hak-hak nyata yang mempunyai
realitas, artinya bahwa keadilan tidak dapat disamakan dengan keseimbangan.
Karena keadilan berawal dari usaha memberikan hak kepada setiap individu (yang
berhak menerima) sekaligus menjaga atau memelihara hak tersebut, sehingga
pernyataan yang mengatakan bahwa keadilan bersifat relatif adalah salah.
Sementara itu, Khursid Ahmad mengatakan, kata 'adl dapat diartikan seimbang (balance)
dan setimbang (equilibrium). Atas dasar ini, ia menyebutkan bahwa konsep
'adl dalam persepsi Islam adalah "keadilan ilahi".
Salah satu manifestasi keadilan menurut al-Qur'an adalah kesejahteraan.
Sebagaimana diekmukakan oleh Shihab setelah ia menafsirkan QS. al-Ma'idah: 8,
al-A'raf: 96, dan Nuh: 10-12. Berdasarkan rangkaian ayat ini, tampak bahwa keadilan
akan mengantarkan kepada katakwaan, dan ketakwaan akan menghasilkan
kesejahteraan. Hal ini cukup menarik, bahwa ayat tersebut menunjukkan hubungan
langsung antara wawasan al-Qur'an dan upaya peningkatan kesejahteraan serta
peningkatan taraf hidup warga masyarakat ekonomi lemah yang merupakan
pengejawantahan keadilan.
3.
Free Will (kehendak bebas)
Dalam kerangka, kehendak bebas atau otonomi manusia untuk bertingkah laku,
bukan berarti bahwa "Tuhan telah mati", sebagaimana yang dikemukakan
oleh Neitzsche dan Sartrein. Kehenbdak bebas yang dimaksud adalah prinsip yang
mengantarkan seorang muslim meyakini bahwa Allah SWT memiliki kebebasan mutlak
dna Dia menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih jalan (baik
maupun buruk) yang terbentang di hadapannya. Dengan demikian, manusia yang baik
di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka
penerapan tauhid dan al'adl.
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas, namun kebebasan ini
tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha' dan qadar yang merupakan
hukum sebab-akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Tuhan. Dengan
kata lain, bahwa qadha' dan qadar merupakan bagian dari kehendak bebas manusia.
Dalam kaitan ini, Muthahhari membagi takdir menjadi dua macam, yaitu takdir
hatmi, yaitu takdir yang tidak dapat berubah lagi dan taqdir ghayr hatmi, yaitu
takdir yang masih bisa berubah.
Pandangan al-Qur'an terhadap akal dan nurani manusia adalah bebas dan
merdeka, dimana fitrah Ilahi tetap dapat hidup dalam segala keadaan dan
lingkungan, sehingga Allah memberikan ganjaran dan siksaan kepada manusia. Shihab
menjelaskan, sunnatullah (digunakan al-Qur'an) untuk hukum-hukum Tuhan yahng
pasti berlaku bagi masyarakat, sedangkan takdir mencakup hukum-hukum
kemasyarakatan dan hukum alam, sebagaimana takdirnya matahari, bulan dan
seluruh jagat raya telah ditetapkan takdirnya dna tidak bisa mereka menawar.
4.
Amanah (responsibility/pertanggungjawaban)
Efek dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain,
setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggung-jawabkan
perbuatannya. Dengan demikian prinsip tanggungjawab merupakan suatu hubungan
logis dengan adanya prinsip kehendak bebas.
Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud
bilamana suatu tindakan (perbuatan) merupakan produk pilihan sadar dalam
situasi bebas (tidak terpaksa), pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya
kepada pihak yang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas.
Prinsip tanggungjawab dalam Islam dikenalkan dengan tanggungjawab secara
individu maupun kolektif, yaitu konsep fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Konsep
yang pertama adalah kewajiban individu yang tidak dibebankan kepada orang lain.
Sedangkan konsep yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang
lain, sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaslah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa) akan tetapi bila tidak
seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun
belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.